Tragedi Sang
Pembela
Karya :
Nurhidayatullah
Senja
semakin merona memancarkan keindahannya dan memperlihatkannya pada siapun
termasuk padaku. Duduk di kursi depan rumahku mengamati anak-anak bermain
kesana kemari merupakan hal yang biasa kulakukan dikala sore yang bersahabat
seperti ini.
“ Kakeeekkk!!” ternyata anak yang berkacamata dengan
kaos putihnya yang memanggilku dari kejauhan. Aku hanya bisa membalasnya dengan
tersenyum karena untuk teriakpun rahangku takkan mampu lagi.
Melihat
anak-anak itu membuat aku jadi teringat masa kecilku ketika aku berumur sekitar
9 tahun saat itu aku tinggal di desa Tanjung kabupaten Magetan. Tahun 1948
adalah tahun yang merupakan sejarah terpahit dalam hidupku. Sejarah yang ingin
sekali kulupakan tapi selalu saja bayang-bayang dari peristiwa mengerikan itu terlintas di setiap lamunanku.
Saat
itu sebelum hal mengerikan itu terjadi ayahku orang yang sangat aku idolakan
dalam hidupku sering sekali mengajakku memanen tebu di perkebunan tebu milik
pamanku yang letaknya tak jauh dari rumahku.
“Lihin, ayah mau ketika kamu besar nanti kamu
menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa ya, buat Indonesia bangga telah
memilikimu” kata ayahku ketika kami beristirahat setelah lelah membantu paman
memanen padi.
“Indonesia itu apa yah?”
“Indonesia itu Negara kita sayang, ya walaupun
sekarang kurang jelas tentang Negara ini karena masih banyak terjadi konflik
disana-sini terlebih Belanda yang ingin merebut lagi Negara kita dengan cara
liciknya melalui perjanjian-perjanjian yang menurut ayah hanya semakin
merugikan Indonesia itu. Tapi ayah yakin suatu saat Indonesia akan utuh menjadi
milik kita nak. Dan pada saat itulah kamu sebagai penerus bangsa harus
mempertahankan kemerdekaan yang tak mudah didapat ini!” Kata ayah dengan
semangat yang berkobar-kobar.
Mendengar perkataan ayah aku hanya terdiam dan
berusaha mencerna perkataan ayah satu-persatu karena jujur, aku tidak terlalu
mengerti apa yang dikatakannya.
“loh, anak ayah kok diem? Kamu mengerti tidak apa
yang ayah katakan tadi?
Mendengar pertanyaan ayah aku hanya menggeleng, dan
itu membuat ayah tertawa dan berkata
“suatu hari nanti kamu pasti akan mengerti nak, ayo
kita pulang hari sudah mau petang.”
Aku pun pulang dengan ayahku menaiki sepeda
kesayangannya. Aku tak sabar bertemu dengan ibu dirumah dan adik perempuanku yang
sangat lucu usianya pun baru menginjak 1 tahun.
“ibuuu… aku pulang” aku langsung menghamburkan diri
ke pelukan Ibuku sungguh tak ada tempat yang nyaman dan aku merasa aman selain
ketika aku berada di pelukan ibuku.
“sudah pulang ya nak, ibu masak makanan kesukaanmu
ini. Ada singkong rebus, pasti kamu lapar kan? Ayo kita makan. Ayah juga ya.”
“wah, enak sekali bu.” Teriakku kegirangan akupun
teringat akan adikku
“adik dimana
bu?” tanyaku pada ibu.
“dia sedang tidur, ini sebentar lagi ibu mau
bangunkan soalnya hari sudah mau maghrib. Kamu siap-siap gih mandi setelah itu
kita sholat magrib bersama-sama dengan ayah juga” kata ibuku sambil tersenyum,
senyumnya manis sekali.
Akupun langsung bergegas kesungai di temani ayahku
untuk mandi. Setelah itu kami sholat magrib berjamaah.
Malampun
tiba, aku ayah ibu dan adikku sedang bercengkrama di ruang keluarga rumah kami
bercanda dan aku merasa sangat senang sekali berada di tengah-tengah keluarga
yang bahagia ini.
Adikku
tiba-tiba menangis ternyata ia kelaparan ibupun segera kedapur untuk merebus
singkong tapi ternyata ayah lupa membawa singkong itu dan ketinggalan dirumah
paman. Akhirnya ayah memustuskan untuk pergi kerumah paman mengambilnya.
Awalnya, ibu melarang ayah karena situasi diluar sana sedang tidak aman akibat
ulah dari para PKI tapi tangisan adikku membuat ayah tetap pergi keluar untuk
menjemput singkong di rumah paman.
Malam
semakin larut tapi ayah tak kunjung pulang-pulang aku dan ibu semakin khawatir,
seharusnya ayah sudah pulang sekarang. Sedangkan adikku sudah tertidur duluan
sebelum perutnya terisi.
“Ibu ayah kemana? Kenapa belum pulang?”
“ayah pasti akan pulang sayang kamu tenang ya.” Kata
ibu menenangkanku. Padahal walupun aku masih kecil tapi aku bisa melihat kekhawatiran
yang amat mendalam dimata ibu.
“kalau kamu mengantuk kamu tidur duluan saja nak,
biar ibu yang menunggu ayah.”
“tidak bu, aku akan menemani ibu.” Kataku dengan
bersemangat.
Namun
tak lama kemudian kantukku pun datang. Aku sudah tak kuat lagi menahannya
hingga aku tertidur dipangkuan ibu.
Kurasa saat itu tidurku tak terlalu nyenyak karena
di tengah-tengah tidurku aku terbangun karena mendengar suara ibu yang seperti
menangis, ternyata hari sudah berganti subuh. Aku melihat ibu dengan sorot mata
yang sangat sedih dan ibu meneteskan air mata.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, karena sampai saat
ini aku belum menemukan sosok ayah, aku hanya bisa memeluk ibu untuk mengurangi
kesedihannya aku sadar ibu telah menunggu ayah semalaman.
Di
kejauhan aku dan ibu melihat ada lelaki yang berjalan kerumahku karena matahari
belum muncul jadi wajah orang itu tidak terlalu terlihat. Aku memastikan itu
ayah yang pulang.
“yee ayah pulang! Ayah pulang. Ibu jangan menangis
lagi ya!” ibupun tersenyum mellihatku berjingkrak-jingkrak kegirangan. Ibu
langsung kebelakang menyiapkan minum untuk ayah yang sebentar lagi sampai
kerumah. Aku menunggu ayah didepan rumah dengan tidak sabar, tapi senyumku
semakin lama semakin hilang ketika yang kulihat itu bukan ayah ternyata itu
paman yang kemarin kukunjungi.
“Lihin, dimana ibu?” Mendengar orang bicara ibu
langsung keluar dari dapur dengan membawa air minum. Namun setelah melihat
siapa yang datang membuat gelas tanah liat dari tangan ibu terlepas sehingga
jatuh ke lantai.
“Dimana Sakidi?” tanya ibu pada paman.
“Sakidi, ia ditangkap oleh FDR/PKI dan dibawa
ke Soco.”
Mendengar itu ibu terlihat sangat terpukul.
“tapi kenapa?” ibu berusaha untuk memahami apa yang
terjadi pada suaminya.
“karena Sakidi yang mengajarkan pemuda-pemuda desa
tanjung tentang bela Negara. dan itu membuat para FDR/PKI marah dan memutuskan
untuk menangkapnya.”
Mendengar penjelasan dari paman membuat ibu terduduk
lemas di lantai.
“ibuuu…!” aku segera menghampiri ibu. Dia menangis
sejadi-jadinya. Aku tidak terlalu mengerti apa yang terjadi. Yang kulihat ibu
terlihat sangat sedih.
“aku akan menyusulnya.” Ibu spontan berkata dengan
tegas dan tekad yang bulat. Tangannya pun terkepal mengumpulkan semua emosinya.
Aku tak pernah melihat ibu seperti ini sebelumnya.
“aku harus pergi” kata paman yang tadi seraya ia
pergi meninggalkan rumah kami.
Sepeninggal paman ibu terus termenung dan banyak
melamun sepanjang hari. Aku hanya bisa diam karena tak tahu harus berbuat apa.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali ibu membangunkanku
dan menyuruhku mandi dan bersiap-siap karena ibu akan mengajakku dan adik pergi
menemui ayah. Aku sangat senang sekali mendengarnya dengan bersemangat aku
bersiap-siap mandi sholat dan siap untuk pergi.
Sebelum kami meninggalkan rumah ibu mengatakan
sesuatu padaku
“Lihin, jika ibu dan ayah tidak bisa menemanimu lagi
ibu harap kamu menjadi orang yang bisa bertanggung jawab menjaga adikmu dan
melanjutkan perjuangan ayahmu membela Negara Indonesia untuk merdeka seutuhnya.
Janji!”
Dengan mantap aku berkata “janji!” ibu kembali
meneteskan air matanya. Aku jadi semakin tidak mengerti apa yang terjadi.
Kamipun memulai perjalanan panjang menuju desa Soco.
Di tengah perjalanan sepertinya ibu terlihat lelah kami berhenti di pondok dan
ibu mengeluarkan bekal lalu ibu aku dan adikku yang berada di gendongan ibu
makan bersama-sama.
Sepanjang
perjalanan ibu tak banyak bicara sesekali ia hanya tersenyum dan terkadang
memelukku dan banyak mengatakan hal-hal aneh yang kini aku tak ingat lagi, yang
jelas aku hanya ingat ibu selalu mengatakan kata Indonesia-Indonesia.
Setelah kami berjalan jauh akhirnya kami tiba di
desa Soco. Suasana di desa ini tak seperti ketika aku dan ayah kesini kemarin,
kini disini suasananya terasa sangat mencekam. Penduduk-penduduk desa tidak ada
yang berlalu lalang bahkan rumah-rumah disini terlihat kosong.
Aku sangat takut dengan keadaan ini, tapi ibu
kelihatannya tidak sama sekali. Sementara adik sedang tertidur di gendongan
ibu. Sambil berjalan aku menggenggam erat tangan ibu, hingga ada orang yang
memakai penutup mulut berwarna merah menarik lebih tepatnya menyeret ibu dan
aku kesuatu tempat.
Sesampai di tempat itu aku melihat ada beberapa
sumur dan bau yang tercium disini sangat-sangat mengerikan. Terdapat banyak
darah dimana-mana aku tak sanggup lagi jika terus berada disini.
“Dimana suamiku!” kini ibuku angkat bicara.
“Sakidi telah mati!” kata salah seorang yang memakai
tutup mulut merah itu.
“tidak mungkin aku ingin melihatnya.” Kata ibu
seraya mencoba melepaskan diri dari cengkraman orang itu.
Aku yang mendengar apa yang dikatakan orang itu
berusaha untuk menahan tangisku karena aku juga tidak percaya sama seperti ibu.
Karena ibu memberontak terus menerus orang itu
membawa ibu lebih masuk ke dalam dan sebelumnya adikku di lepaskan dari
gendongan ibuku iapun menangis meraung-raung sungguh aku tak tahan lagi. Aku
juga memberontak tapi cengkraman di tanganku sangatlah kuat dan itu sangat
sakit sekali.
“ibuuu! Ibuuu!!” aku meneriakkan ibu terus menerus
menangis sejadi-jadinya aku takut terjadi apa-apa dengan ibu.
“kau mau melihat ibumu? Hahahh ayo!” kata orang yang
memegangku yang kuketahui ternyata anggota dari FDR/PKI. Ia menyeretku masuk ke
dalam tempat eksekusi. Yang membuatku terkejut dan hampir pingsan disana aku
melihat ibu yang akan dieksekusi dengan orang-orang biadab itu.
“ibuuu!!!” aku memanggil-manggil ibu sementara ibu
melihatku dengan tatapan matanya yang sayu bahkan ia terlalu lemah untuk kembali
melawan. Yang sangat tidak kusangka orang itu menyiapkan leher ibuuuuu keatas
sebuah bongkahan kayu dan bersiap untuk menyembelih ibu hidup-hidup. Ibu
menutup kedua matanya. Aku meraung sejadi-jadinya aku tak mau ibu disembelih
aku tak mau ibu mati. Kalau ibu tak ada lagi aku akan hidup dengan siapa?.
Ketika pisau yang tajam itu mulai menghunus leher
ibu, ibu berteriak sangat mengenaskan. Aku merasa tak sanggup lagi berdiri
kedua lututku lemas melihat ibu dibunuh dihadapanku sendiri. Lalu jenazah ibu
yang telah meninggal itu dibuang kedalam salah satu sumur yang ternyata jenazah
ayahku dibuang di sumur yang sama. Aku tak sanggup lagi menghadapi kenyataan
ini. Kepalaku sungguh pusing setelah melihat apa yang terjadi, wajah ayah dan
ibuku terlintas dibenakku sayup-sayup mereka berkata jagalah adikmu. Dan
tiba-tiba semuanya gelap.
Ternyata aku pingsan dan ketika terbangun aku berada
dirumah paman yang kemarin kerumahku. Di sebelahku terdapat adikku yang masih
tertidur dengan polosnya. Mengingat kejadian yang sebelumnya terjadi membuat
kepalaku nyeri kembali. Ketika tahu aku telah sadar paman yang setelah ku
ketahui bernama jalim itu datang menghampiriku dan bertanya bagaimana
keadaanku. Aku tak menanggapi pertanyaanya aku hanya diam dengan pandangan
kosong. Seorang anggota PKI bernama Sujadi telah membawaku dan adikku kerumah
ini ternyata ia masih ada sedikit hati nurani padahal jika ketahuan ia bisa
dihukum dengan pimpinan FDR/PKI.
Keesokan harinya paman Jalim membawaku dan adikku
pergi dari Magetan dan memulai hidup yang baru sebagai anak yatim piatu dan
dirawat oleh paman Jalim dan istrinya. Aku selalu terbayang bagaimana ibu
dibantai sehingga aku tak nafsu makan dan bicara. Terkadang aku selalu
menangis. Dan aku berteriak ketika melihat darah kejadian itu selalu
membayang-bayangiku hingga 5 tahun setelah kejadian itu aku baru bisa menerima
kenyataan dan membangun hidupku yang baru tanpa ayah dan ibu.
Aku teringat perkataan ayah tentang Indonesia dan
aku bertekad untuk mempelajari lebih dalam tentang hal yang berkenaan dengan
itu berusaha untuk ikut berpartisipasi pada organisasi para pemuda yang
bertekad mengabdikan diri untuk Indonesia begitu juga aku berbekal nasihat-nasihat
dari mendiang ayah dan berbekal lembutnya kasih sayang dari mendiang ibu
terlebih karena mereka meninggal karena komunis yang merupakan musuh Indonesia
membuat tekadku semakin bulat untuk menjadi tentara dan berjuang untuk
Indonesia.
Hingga inilah aku kini di tahun 2016 ini usiaku
telah menginjak 76 tahun membuatku menjadi pensiunan tentara yang telah menuai
banyak prestasi. Semua itu berkat rasa
nasionalisme yang sudah ditanamkan oleh orang tuaku dari aku kecil.
Tak sadar pun air mataku kembali menetes melewati
pipiku yang telah berkeriput, karena mengingat kejadian yang membuat hidupku
hancur sehancur-hancurnya.
“kakek kenapa menangis?” kata cucuku yang ternyata
dari tadi duduk di sebelahku memperhatikanku.
“tidak apa-apa sayang, sekarang kakek mau tahu besok
kamu besar mau jadi apa?”
“aku mau jadi tentara kek, seperti kakek sang
pembela Negara! hehe” aku hanya tersenyum dan memeluk cucuku yang satu ini.
Semoga ia dapat melanjutkan perjuanganku demi sang pembela Negara sebenarnya
dalam hidupku iya, dia ayahku.
2 komentar:
Ceritanya udah 5 tahun yang lalu sekarang apa kabar nya mba ?
Terimaksih ceritanya sangat menginspirasi, kebetulan saya sekarang juga sedang ada tugas membuat Cerpen.
alhamdulillah kabarnya baik, masih menjalani hidup dengan baik hehhe
Posting Komentar